PULAU JAWA JAMAN PERTENGAHAN:
Dinamakan jaman kala yoga artinya jaman PEPATUT.Umur tanah jawa menurut
tahun masehi berumur 700tahun sedangkan menurut kalender jawa berumur
703 tahun.Dijaman KALA YOGA terdapat 7 masa lagi.Dan setiap masanya
terdiri dari 100tahun.
-jaman KALA BRATA.Artinya jaman LAMPAH LAKU.Saat itu orang jawa banyak
melakukan laku NGESTHI kepada Tuhanya.Tanah jawa berumur 800tahun.
-jaman KALA WIGNYA.Artinya jaman lumprah.Orang jawa saat itu melumprahkan ilmunya.Tanah jawa berumur 900tahun.
-jaman KALA YUDA.Artinya jaman perang.Ditanah jawa mulai banyak peperangan.Umur tanah jawa 1000tahun.
-jaman KALA WISESA.Artinya jaman menangnya sendiri2.Mulai berkurangnya
keadilan ditanah jawa yang sudah tertata.Tanah jawa berumur 1100 tahun.
-jaman KALA WISAYA.Artinya banyak kemaksiatan dan perselisihan.Tanah jawa berumur 1200tahun.
-jaman KOLO JANGGA.Artinya jaman memuja kerongkongan.Orang ditanah jawa mulai mengejar materi.Tanah jawa berumur 1300tahun.
-jaman KALA SAKTI.Artinya jaman kesaktian.Orang ditanah jawa mulai mengolah kesaktian.Tanah jawa berumur 1400tahun.
LALU MENGINJAK JAMAN AKHIR ATAU DISEBUT JAMAN KALI SANGORO Artinya jaman WEKASAN/Akhir.Yang didalamnya ada 7 masa pula:
-jaman KALA JAYA.Artinya jaman UNGGUL tanah jawa mencapai kemakmuran.Tanah jawa berumur 1500tahun.
-jaman KALA BENDHU.Artinya jaman murka.Penduduk tanah jawa mendapat
murka dari tuhan.Mulai banyak perselisihan dan egois menuruti keinginan
individu.Tanah jawa berumur 1600tahun.
-jaman KALA MARTA.Artinya ketentraman.Orang tanah jawa mendapatkan
ketentraman karena dipimpin oleh RATUNING HAMBEG PARAMARTA disebut juga
RATU ADIL.Tanah jawa berumur 1700tahun.
-jaman KALA ASMARA.Artinya jaman KASMARAN.raja2 dan orang tanah jawa mulai
berpoligami.Tanah jawa berumur 1800tahun.
-jaman KALA BRASMA.Artinya jaman kepanasan RATUNING ONCAT SAKING
PENGADILAN/rajanya dapat lepas dari jerat hukum.(tambahan: yaitu masa
orde baru).Tanah jawa berumur 1900tahun.
-jaman KALA SINELA.Artinya jaman KASELAN/DISELINGI/JEDA.Ditanah jawa diselingi
pemimpin yang bukan keturunan raja.”Ing tanah jawi kaselan ratu sanes
dharahipun ratu jawi.Inggih puniko ratu sabrang ing nuswa sarenggi utawi
saking sabrang ngatas angin.Wekasan dadosaken susahing tiyang
alit”.Tanah jawa berumur 2000tahun
(tambahan:tanah jawa
mulai dipimpin oleh pemimpin bukan dr keturunan raja dia berasal dr luar
jawa/sabrang.Berasal dr negri ngatas angin yaitu dr asalnya angin
mamiri=Bpk.BJ.HABIBIE.Rakyat kecil mulai menderita sampai batas waktu
yang ditentukan. sudah kodratnya jaman harus begitu).
Sebuah teori geologi kuno menyebutkan, proses terbentuknya daratan yang
terjadi di Asia belahan selatan adalah akibat proses pergerakan anak
benua India ke utara, yang bertabrakan dengan lempengan sebelah utara.
Pergerakan lempeng bumi inilah yang kemudian melahirkan Gunung Himalaya.
Konon, proses tersebut terjadi pada 20-36 juta tahun yang silam. Anak
benua yang di selatan sebagian terendam air laut, sehingga yang muncul
di permukaan adalah gugusan-gugusan pulau yang merupakan mata rantai
gunung berapi. Gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara, yang sebagian
adalah Nuswantoro (Nusantara), yang pada zaman dahulu disebut Sweta
Dwipa. Dari bagian daratan ini salah satunya adalah gugusan anak benua
yang disebut Jawata, yang satu potongan bagiannya adalah pulau Jawa.Jawata
artinya gurunya orang Jawa. Wong dari kata Wahong, dan Tiyang dari kata
Ti Hyang, yang berarti keturunan atau berasal dari Dewata. Konon karena
itulah pulau Bali sampai kini masih dikenal sebagai pulau Dewata,
karena juga merupakan potongan dari benua Sweta Dwipa atau Jawata.
Mengingat kalau dulunya anak benua India dan Sweta Dwipa atau Jawata itu
satu daerah, maka tidak heran kalau ada budayanya yang hampir sama,
atau mudah saling menerima pengaruh. Juga perkembagan agama di wilayah
ini, khususnya Hindu dan Budha yang nyaris sama.
Al kisah, dalam kunjungan resminya sebagai utusan raja, Empu Barang atau
nama bangsawannya Haryo Lembusuro, seorang pandhito terkemuka tanah
Jawa, berkunjung ke Jambu Dwipa (India).
Sesampainya menginjakkan kaki di negeri Hindustan ini, oleh para
Brahmana setempat, Empu Barang diminta untuk bersama-sama menyembah
patung perwujudan Haricandana (Wisnu). Namun, dengan kehalusan sikap
manusia Jawa, Empu Barang menyatakan bahwa sebagai pandhito Jawa, dia
tidak bisa menyembah patung, tetapi para Brahmana India tetap
mendesaknya, dengan alasan kalau Brahmana dinasti Haricandana
menyembahnya karena Wisnu dipercaya sebagai Sang Pencipta Tribuwana.
Dengan setengah memaksa, Empu Barang diminta duduk, namun sewaktu kaki
Empu Barang menyentuh tanah, tiba-tiba bumi bergoyang (tidak disebutkan
berapa kekuatan goyangannya dalam skal ritcher). Yang jelas, saking
hebatnya goyangan tersebut, patung tersebut hingga retak-retak.
Memang, menurut tata cara Jawa, penyembahan kepada Sang Penguasa Hidup
itu bukan patung, tetapi lewat rasa sejati, sehingga hubungan kawula
dengan Gusti menjadi serasi. Itulah Jumbuhing Kawula Dumateng Gusti.
Orang Jawa melakukan puja-puji penyembahan kepada Gustinya langsng dari
batinya, maka itu dalam perkembangannya disebut aliran Kebatinan atau
perkembangan selanjutnya dikenal dengan istilah Kejawen, karena
bersumber dari Jawa.
Bagi orang Jawa tentang cerita waktu bumi Jawa belum dihuni manusia,
telah dihuni oleh golongan dewa-dewi dan makhluk halus lainnya. Dan
salah satu putra Sang Hyang Jagad Girinata, yaitu Bathara Wisnu turun ke
arcapada kawin dengan Pratiwi, dewi bumi.
Dalam pemahaman kejawen, hal itu disikapi dengan terjemahan, kalau Wisnu
itu artinya urip/hidup, pemelihara kehidupan. Jadi jelasnya awal mula
adanya kehidupan manusia di bumi, atas izin Sang Penguasa Jagad. Dewa
perlambang sukma, manusia perlambang raga. Begitulah hidup manusia,
raganya bisa rusak, namun sukmanya tetap hidup langgeng.
Kemolekan bumi Jawa laksana perawan rupawan yang amat jelita, sehingga
Kerajaan Rum (Ngerum) yang dipimpin Prabu Galbah, lewat laporan pendeta
Ngali Samsujen, begitu terpesona karenanya. Maka diutuslah dutanya yang
pertama yang bernama Hadipati Alip.
Hadipati Alip berangkat bersama 10.000 warga Ngerum menuju Nuswa Jawa.
Mereka dalam waktu singkat meninggal terkena wabah penyakit. Tak tersisa
seorang pun. Lalu dikirimlah ekspedisi kedua dibawah pemimpinan
Hadipati Ehe. Malangnya, mereka juga mengalami nasib sama, tupes tapis
tanpa tilas.
Masih diutus rombongan berikutnya, seperti Hadipati Jimawal, Je, Dal,
Be, Wawu, dan Jimakir. Semuanya mengalami nasib sama, tumpes kelor.
Melihat semua itu, Prabu Galbah terkejut dan mengalami shock hebat.
Akibatnya, sakit jantungnya kambuh. Dia kemudian jatuh sakit, dan dalam
waktu tak lama mangkat.
Pendeta Ngali Samsujen, merasa bersalah karena nasehatnya menimbulkan
malapateka ini terjadi. Akhirnya beliau mati dalam rasa bersalah.
Tinggal Mahapati Ngerum, karena rasa setianya, dia ingin melanjutkan
missi luhur yang dicita-citakan rajanya. Dia akhirnya ingat pada
sahabatnya yang sakti bersanama Jaka Sangkala alias Aji Saka, yang
tinggal di Tanah Maldewa atau Sweta Dwipa.
Habisnya para migran dari Ngerum ke Tanah Jawa itu, menurut Jaka
Sangkala adalah karena hati mereka yang kurang bersih. Mereka tidak
meminta izin dahulu pada penjaga Nuswa Jawa. Padahal, karena sejak zaman
dahulu, tanah ini sudah ada yang menghuni. Yang menghuni tanah Jawa
adalah manusia yang bersifat suci, berwujud badan halus atau ajiman (aji
artinya ratu, man atau wan artinya sakti).
Selain penghuni yang baik, juga dihuni penghuni brekasakan, anak buah
Bathara Kala. Makanya tak ada yang berani tinggal di bumi Jawa, sebelum
mendapat izin Wisnu atau manikmaya atau Semar.
Akhirnya, Mahapati Ngerum diantar Aji Saka menemui Wisnu dan isterinya
Dewi Sri Kembang. Saat bertemu, dituturkan bahwa wadyabala warga Ngerum
yang mati tidak bisa hidup lagi, dan sudah menjadi Peri Prahyangan, anak
buah Batara Kala. Tapi ke-8 Hadipati yang gugur dalam tugas itu
berhasil diselamatkan oleh Wisnu dan diserahi tugas menjaga 8 mata
angina. Namun mereka tetap menghuni alam halus.
Atas izin Wisnu, Mahapati Negrum dan Aji Saka berangkat ke tanah Jawa
untuk menghadap Semar di Gunung Tidar. Tidar dari kata Tida; hati di
dada, maksudnya hidup. Supaya selamat, oleh Wisnu, Mahapati Ngerum dan
Aji Saka diberi sifat kandel berupa rajah Kalacakra, agar terhindar dari
wabah penyakit dan serangan anak buah Batara Kala.
Kisah di atas hanya merupakan gambaran, bahwa ada makna yang tersirat di
dalamnya. Wisnu dan Aji Saka itu dwitunggal, bagaikan matahari dan
sinarnya, madu dan manisnya, tak terpisahkan. Loro-loro ning atunggal.
Maka itu, keraton Wisnu dan Aji Saka itu di Medang Kamulan, yang
maksudnya dimula-mula kehidupan. Kalau dicermati, intinya adalah kawruh
ngelmu sejati tentang kehidupan manusia di dunia, sejak masih gaib
hingga terlahir di dunia, supaya hidup baik, sehingga kembalinya nanti
menjadi gaib lagi, perjalanannya sempurna.
Singkat cerita, perjalanan ke tanah Jawa dipimpin oleh Aji Saka dengan
jumlah warga yang lebih besar, 80 ribu atau 8 laksa, disebar di berbagai
pelosok pulau. Sejak itulah, kehidupan di tanah Jawa Dwipa yang disebut
masyarakat Kabuyutan telah ada sejak 10.000 SM, tetapi mulai agak ramai
sejak 3.000 SM.
Sesudah kedatangan pengaruh Hindu, muncul kerajaan pertama di Jawa yang
lokasinya di Gunung Gede, Merak. Rajanya Prabu Dewowarman atau Dewo Eso,
yang bergelar Sang Hyang Prabu Wismudewo. Raja ini memperkuat tahtanya
dengan mengawini Puteri Begawan Jawa yang paling terkenal, yakni Begawan
Lembu Suro atau Kesowosidi di Padepokan Garbo Pitu (penguasa 7 lapis
alam gaib) yang terletak di Dieng atau Adi Hyang (jiwa yang sempurna),
juga disebut Bumi Samboro (tanah yang menjulang tinggi). Puterinya
bernama Padmowati atau Dewi Pertiwi.
Dari perkawinan campuran itu, lahirlah Raden Joko Pakukuhan, yang kelak
di kemudian hari menggantikan tahta ayahnya di kerajaan Jawa Dwipa atau
Keraton Purwosarito, dan bergelar Sang Prabu Sri Maha Panggung. Lalu
keraton dipindah lokasinya ke Medang Kamulan.
Penggantinya adalah putranya Prabu Palindriyo. Dari perkawinannya dengan
puteri Patih Purnawarman, Dewi Sinto, lahir Raden Radite yang setelah
bertahta dan bergelar Prabu Watuguung. Dia memerintah selama 28 tahun.
Pemerintahannya mempunyai pengaruh kuat di Jawa Barat. Adalah kakaknya,
Prabu Purnawarman yang membuat Prasasti Tugu, sebelah timur Tanjung
Priuk dalam pembuatan harudaya (jawa kuno: aliran yang deras), Prasasti Batu Tulis di
Ciampea, Bogor.
Untuk menguasai Jawa Timur, Prabu Watugunung mengawini puteri Begawan
Kondang, yaitu Dewi Soma dan Dewi Tumpak. Dia juga mengawini Ratu Negeri
Taruma yang bernama Dewi Sitowoko.
Dalam pemerintahannya terjadi perebutan tahta dengan Dewi Sri Yuwati,
saudara lain ibu (Dewi Landep). Dewi Sri Yuwati dibantu adiknya lain
ibu, Joko Sadono (putera Dewi Soma). Akhirnya Prabu Watugunung berhasil
dikalahkan, dan Joko Sadono menggantikan tahtanya dengan gelar Prabu
Wisnupati, permaisurinya Dewi Sri. Kakak Dewi Sri diangkat sebagai raja
Taruma, bergelar Prabu Brahma Raja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar